Rabu, 01 Desember 2010

Browse: Home / / ORGANISASI DAERAH YANG BERKONTRIBUSI

ORGANISASI DAERAH YANG BERKONTRIBUSI

Oleh : Syahrul Sajidin SH.
Bergulirnya reformasi pada tahun 97/98 menyebabkan perubahan yang sangat drastis bagi perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Ketika selama berada di rezim orde baru selama 32 tahun, desakan masyarakat melalui mahasiswa selaku kaum terpelajar dan kaum akademis. Perubahan mendasar dalam segi-segi berbangsa dan bernegara mengalami perubahan seperti tentang demokrasi, penegakan HAM, penegakan hukum, dan perubahan sistem dari yang dulunya bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi, perubahan ini merupakan salah satu dari sekian banyak perubahan mendasar yang dilakukan oleh bangsa ini setelah mengalami fase sejarah bernama reformasi.

Kebijakan sentralisasi yang diterapkan pemerintahan orde baru menyebabkan terjadinya ketidakmerataan pembangunan. Segalanya terpusat di ibukota negara Jakarta. Dengan luasnya wilayah indonesia, menyebabkan terhambatnya pembangunan di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Kita lihat saja pembangunan aceh dan papua, tanpa ingin membahas unsur politik yang dianggap menyebabkan perlakuan yang tidak adil dengan ke dua daerah itu. Selain itu potensi yang dimiliki daerah seakan terkebiri oleh birokrasi yang diciptakan dengan paradigma terpusat ini, setiap kebijakan yang dibuat harus berdasarkan atas kesepakatan dan persetujuan dari pusat. Daerah hanya sebagai perangkat penerus atau kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Terkadang aparat yang ada di jajaran pemerintah pusat tidak mengetahui secara jelas potensi dan kondisi yang dialami daerah. Sehingga ada misskomunikasi antara pusat dan daerah. Belum lagi apabila kita berbicara bahwa daerah yang memiliki potensi sumber daya alam dan potensi ekonomi yang besar, sama sekali tidak merasakan manfaat langsung dari pembangunan, karena tidak adanya perimbangan keuangan yang proporsional antara pusat dan daerah. Berkaca dari kondisi-kondisi ketidakadilan ini, timbul inisiatif atas adanya sebuah perubahan, lalu lahirlah sebuah undang-undang yang dinanti-nanti oleh masyarakat didaerah yakni Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah menggantikan undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Berikut sejarah perjalanan undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah. dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Diberikannya wewenang lebih kepada daerah untuk mengelola daerahnya diharapkan menjadi sarana bagi daerah untuk lebih cepat dalam melakukan pembangunan didaerah, mulai dari PILKADA dan pemekaran daerah selalu menjadi permasalahan dalam satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah. Tidak heran pula seringkali adanya raja-raja kecil dengan adanya otonomi daerah, yang dibuktikan dengan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Sebagai kaum intelektual dan terpelajar, peranan mahasiswa dalam mengawal proses pelaksanaan otonomi daerah sangat diharapkan peranannya. Organisasi daerah atau yang biasa disebut orda memiliki tipologi yang berbeda dengan organisasi yang lain, asal muasal organisasi daerah berasal dari sebuah kesamaan kultur dan budaya. Sebagai “putra daerah” yang jauh dari kampung halaman, sangat wajar bila timbulnya rasa kangen dan rindu terhadap suasana kampung halaman, dan ketika jauh dari kampung halaman seseorang akan merasa aman dan nyaman dengan orang-orang yang memiliki kesamaan kultur dan kedekatan personal. Berawal dari sebuah kesamaan kultur lalu komunitas dan pada akhirnya adalah melakukan formalisasi dalam komunitas itu, dengan membuat AD/ART dan susunan kepengurusan merupakan wujud dari formalisasi dari komunitas tersebut. Dengan adanya formalisasi dari komunitas tersebut, organisasi daerah akan melakukan kegiatan dan arah gerak yang lebih cepat dan tepat tidak hanya dalam mengakomodir kepentingan dan kebutuhan anggotanya, namun juga menjadi sarana pengawal proses otonomi daerah. Berbeda dengan organisasi mahasiswa pada umumnya peranan organisasi daerah lebih vital sebagai sarana kaderisasi dalam kepemimpinan daerah, dengan fasilitas yang tersedia tentunya diharapkan pertanggungjawaban moril dari pengurus organisasi daerah terhadap semua anggota dan stake holdernya. Namun terkadang organisasi terjebak pada paradigma “komunitas” sehingga organisasi yang bersifat formil ini hanya menjadi ajang kumpul-kumpul dan temu kangen belaka, tanpa mampu mengembangkan sikap empatinya terhadap setiap fenomena yang ada dan terjadi didaerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dan tidak menyadari besarnya potensi yang mampu dikembangkan dari sebuah organisasi daerah. Berikut ini beberapa potensi dari organisasi daerah:
- Tersedianya fasilitas yang memadai untuk menunjang kinerja kepengurusan.
- Tidak adanya batasan ideologi dalam sebuah orda, karena keanggotaan di ORDA hanya dibatasi pada masalah asal-usul saja. Dalam sebuah orda tidak ada batasan ideologi dan tidak ada pendoktrinan ideologi sehingga individu-individu didalamnya berhak mengeksplor setiap potensi yang dia miliki.
- Tidak ada batasan disiplin ilmu, yang menyebabkan akan adanya sharing ilmu dari masing-masing disiplin ilmu yang berbeda.

Adanya fenomena organisasi daerah memang bukan barang baru dalam perjalanan bangsa ini, kita ingat lahirnya sumpah pemuda adalah berkat inisiatif dari organisasi-organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan. Sehingga seharusnya organisasi daerah tidak hanya berbicara eksistensi di daerah tapi organisasi harus lebih berbicara kepada tataran kontribusi. Tentu menciptakan anggota dan organisasi daerah yang berkontribusi tidak harus dengan barometer kegiatan yang besar dan mengeluarkan dana yang melimpah, kegiatan seperti diskusi yang berkala dengan tema-tema isu lokal akan memperkaya wawasan dan wacana anggota.

Sehingga bukan hanya berbicara eksistensi tapi meningkatkan kontribusi. Apalagi dengan otonomi daerah yang terkadang terjadi penyelewengan dan pelanggaran, peranan organisasi daerah harus ditingkatkan untuk melakukan proses pengawalan otonomi daerah, berdasarkan disiplin ilmu yang beragam di dalam organisasi daerah tersebut itu, maka akan memudahkan melakukan sebuah analisa dan rekomendasi bagi daerah. Sehingga apabila organisasi daerah hanya berbicara masalah eksistensi menurut saya itu adalah garis kemunduran kembali ke sebuah komunitas. Sekian semoga tulisan singkat yang belum sempurna ini bisa saling kita diskusikan guna menjadi lebih baik sehingga mampu menjadi bahan renungan kita bersama, berkaca pada 10 tahun dilaksanakannya otonomi daerah. This is our organitation, our identity, our pride

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Free Your Mind

Friends