Sabtu, 17 Desember 2011

Browse: Home / / Retorika dalam Kepemimpinan

Retorika dalam Kepemimpinan

Oleh : Muhammad Nor Gusti
Dalam Dunia Komunikasi, Retorika adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi para Komunikator khususnya komunikator Politik dan Orator. Retorika merupakan seni berbicara dengan tujuan untuk mempersuasi audiens melalui alam bawah sadar. Dalam teori komunikasi retorika bertumpu pada komunikator (sebagai penyampai pesan), kemudian bagaimana komunikator mengemas sebuah pesan yang kemudian memberikan pengaruh dan kepada komunikan (penerima pesan) agar mau mengikuti apa yang telah disampaikan.
Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan etika/kredibilitas (ethos) (Richard West, 2008). Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang memandang khalayak untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa teori retorika adalah teori yang yang memberikan petunjuk untuk menyusun sebuah presentasi atau pidato persuasive yang efektif dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia.
Asumsi-asumsi Retorika menurut West Richard.
1.      Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khlayak mereka. Asumsi ini menekankan bahwa hubungan antara pembicara – khlayak harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayaknya, tetapi mereka harus berpusat pada khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap sebagai sekelompok besar orang yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok besar orang yang homogeny dan serupa. Asumsi ini menggarisbawahi definisi komunikasi sebagai sebuah proses transaksional. Agar suatu pidato efektif harus dilakukan analisis khalayak (audience analysis), yang merupakan proses mengevaluasi suatu khalayak dan latar belakangnya dan menyusun pidatonya sedemikian rupa sehingga para pendengar memberikan respon sebagaimana yang diharapkan pembicara.
2.      Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka. Asumsi ini berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara dalam persiapan pidato mereka dan dalam pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti yang dimaksudkan ini merujuk pada cara-cara persuasi yaitu: ethos, pathos dan logos. Ethos adalah karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara. Logos adalah bukti logis atau penggunaan argument dan bukti dalam sebuah pidato. Pathos adalah bukti emosional atau emosi yang dimunculkan dari para anggota khalayak.

Argument Tiga Tingkat (Silogisme dan Entimem)
Logos adalah salah satu dari tiga bukti yang menurut Aristoteles menciptakan pesan yang lebih efektif. Berpegang pada bukti-bukti logis ini merupakan sesuatu yang disebut silogisme (syllogism). Namun, kemudian muncul istilah yang juga popular yaitu entimem (entymeme).
Silogisme (Bitzer,1995; Kim dan Kunningham, 2003) adalah sekelompok proporsi yang berhubungan satu sama lain dan menarik sebuah kesimpulan dari premis-premis mayor dan minor. Silogisme sebenarnya merupakan sebuah argument deduktif yang merupakan sekelompok pernyataan (premis) yang menuntun pada sekelompok pernyataan lainnya (kesimpulan).
Entimem (Lloyd Bitzer, 1959) adalah silogisme yang didasarkan pada kemungkinan (probability), tanda (sign) dan contoh (example), dan berfungsi sebagai persuasi retoris. Kemungkinan adalah pernyataan-pernyataan yang secara umum benar tetapi masih membutuhkan pembuktian tambahan. Tanda adalah pernyataan yang menjelaskan alas an bagi sebuah fakta. Contoh adalah pernyataan-pernyataan baik yang faktual maupun yang diciptakan oleh pembicara. Entimem dalam hal ini memungkinkan khalayak untuk mendeduksi kesimpulan dari premis-premis yang atau dari pengalaman mereka sendiri. James McBurney (1994) mengingatkan bahwa entimem merupakan dasar dari semua wacana persuasive. Karenanya entimem juga berhubungan dengan ethos dan pathos. Larry Anhart (1981), percaya akan adanya kesalingterhubungan antara entimem dan bentuk-bentuk bukti ketika ia menyimpulkan bahwa kekuatan persuasive entimem terletak didalam kemampuannya untuk menjadi logis, etis dan patheis: “entimem dapat digunakan tidak hanya untuk membangun sebuah kesimpulan sebagai kebenaran yang mungkin tetapi juga untuk mengubah emosi para pendengar atau untuk membangun rasa percaya mereka akan karaketer dari pembicara”.
Silogisme dan entimem secara struktur sama. Akan tetapi, silogisme berhubungan dengan kepastian sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan.
Kanon Retorika
Kanon merupakan tuntunan atau prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh pembicara agar pidato persuasive dapat menjadi efektif, yaitu:
Penemuan (invention), didefinisikan sebagai konstruksi atau penyusunan dari suatu argument yang relevan dengan tujuan dari suatu pidato. Dalam hal ini perlu adanya integrasi cara berfikir dengan argumen dalam pidato. Oleh karena itu, dengan menggunakan logika dan bukti dalam pidato dapat membuat sebuah pidato menjadi lebih kuat dan persuasive. Hal yan membantu penemuan adalah topic. Topik (topic) adalah bantuan terhadap yang merujuk pada argument yang digunakan oleh pembicara. Para pembicara juga bergantung pada civic space atau metafora yang menyatakan bahwa pembicara memiliki “lokasi-lokasi” dimana terdapat kesempatan untuk membujuk orang lain.
Pengaturan (arrangement), berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk mengorganisasikan pidatonya. Pidato secara umum harus mengikuti pendekatan yang terdiri atas tiga hal: pengantar (introduction), batang tubuh (body), dan kesimpulan (conclusion). Pengantar merupakan bagian dari strategi organisasi dalam suatu pidato yang cukup menarik perhatian khalayak, menunjukkan hubungan topic dengan khalayak, dan memberikan bahasan singkat mengenai tujuan pembicara. Batang tubuh merupakan bagian dari strategi organisasi dari pidato yang mencakup argument, contoh dan detail penting untuk menyampaikan suatu pemikiran. Kesimpulan atau epilog merupakan bagian dari strategi organisasi dalam pidato yang ditujukan untuk merangkum poin-poin penting yang telah disampaikan pembicara dan untuk menggugah emosi di dalam khalayak.
Gaya (style), merupakan kanon retorika yang mencakup penggunaan bahasa untuk menyampaikan ide-ide didalam sebuah pidato. Dalam penggunaan bahasa harus menghindari glos (kata-kata yang sudah kuno dalam pidato), akan tetapi lebih dianjurkan menggunakan metafora (majas yang membantu untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi lebih mudah dipahami). Penggunaan gaya memastikan bahwa suatu pidato dapat diingat dan bahwa ide-ide dari pembicara diperjelas.
Penyampaian (delivery), adalah kanon retorika yang merujuk pada presentasi nonverbal dari ide-ide pembicara. Penyampaian biasanya mencakup beberapa perilaku seperti kontak mata, tanda vocal, ejaan, kejelasan pengucapan, dialek, gerak tubuh, dan penampilan fisik. Penyampaian yang efektif mendukung kata-kata pembicara dan membantu mengurangi ketegangan pembicara.
Ingatan (memory) adalah kanon retorika yang merujuk pada usaha-usaha pembicara untuk menyimpan informasi untuk sebuah pidato. Dengan ingatan, seseorang pembicara dapat mengetahui apa saja yang akan dikatakan dan kapan mengatakannya, meredakan ketegangan pembicara dan memungkinkan pembicara untuk merespons hal-hal yang tidak terduga.
Jenis-jenis Retorika
Retorika forensic (forensic rhetoric), berkaitan dengan keadaan dimana pembicara mendorong timbulnya rasa bersalah atau tidak bersalah dari khalayak. Pidato forensic atau juga disebut pidato yudisial biasanya ditemui dalam kerangka hukum. Retorika forensic berorientasi pada masa waktu lampau.
Retorika epideiktik (epideictic rhetoric), adalah jenis retorika yang berkaitan dengan wacana yang berhubungan dengan pujian atau tuduhan. Pidato epideiktik sering disebut juga pidato seremonial. Pidato jenis ini disampaikan kepada publik dengan tujuan untuk memuji, menghormati, menyalahkan dan mempermalukan. Pidato jenis ini berfokus pada isu-isu sosial yang ada pada masa waktu sekarang.
Retorika deliberative (deliberative rhetoric), adalah jenis retorika yang menentukan tindakan yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan oleh khalayak. Pidato ini sering disebut juga dengan pidato politis. Pidato deliberative berorientasi pada masa waktu yang akan datang.
Di Indonesia, retorika merupakan bukan hal baru dalam proses sosial, politik, dan budaya. Karena seperti yang telah dipaparkan oleh Aristoteles, retorika adalah seni mempengaruhi orang-orang untuk melakukan sesuatu dibawah kendali sang orator. Banyak contoh, para orator yang semasa hidupnya berhasil membius banyak masyarakat secara universal. Contoh; Soekarno, pada zamannya, dia telah memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap negeri ini.
Soekarno yang pada masanya dijuluki sebagai “singa podium”, telah berhasil membawa pengaruh kuat dalam proses kemerdekaan NKRI. bukan hanya soekarno, masih banyak tokoh-tokoh yang kiranya sangat berpengaruh dengan gaya retorika masing-masing.
Bila merujuk pada fenomena komunikasi, retorika merupakan cara untuk mempersuasi audiens agar melakukan apa yang telah di arahkan orator dibawah alam sadar. Ini merupakan efek komunikasi yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat (2009:231), bahwa efek komunikasi meliputi ; kognisi, afeksi, dan behavioral. Berbeda dengan retorika yang digunakan SBY, retorika yang digunakan SBY lebih cenderung menggunakan “apologie” atas apa yang terjadi di negeri ini. Ini kemudian secara serentak membuat rakyat Indonesia jenuh atas apa yang telah disampaikan oleh SBY pada saat pidato politik. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang presiden hanya mampu ber-apologi dalam menangani kasus-kasus yang terjadi pada negeri ini ?.
Padahal dalam teori kepemimpinan misalnya, karakteristik seorang pemimpin adalah ;
         Cerdas
         Terampil secara konseptual
         Kreatif
         Diplomatis dan taktis
         Lancar berbicara
         Memiliki pengetahuan ttg tugas kelompok
         Persuasive
         Memiliki keterampilan sosial (Yulk dalam Hersey dan Blanchard (1998))
Sedangkan Robins (1996) mengatakan bahwa teori ini adalah teori yang mencari ciri-ciri kepribadian sosial, fisik atau intelektual yang membedakan pemimpin dan yang bukan pemimpin. Setidaknya SBY mampu membius dengan pola-pola retorika yang membakar  semangat rakyat Indonesia agar tidak pernah patah semangat atas persoalan bangsa ini.
Baca Selengkapnya...
Browse: Home / / Tips n Trik Tersembunyi Win 7

Tips n Trik Tersembunyi Win 7

Sebagian trik dan tips di bawah ini mungkin saja sudah agan-agan ketahui dan praktekkan.  Namun tidak salahnya kalau saya mencoba mengulas beberapa trik dan tips di windows 7.  Salah satunya adalah bagaimana caranya kita memunculkan theme tersembunyi dari windows 7 atau yang lebih akrabnya win 7.  Oke langsung saja…
1. PSR atau Problem Step Recorder
Salah satu fasilitas yang diberikan win 7 adalah PSR dimana saat ada masalah atau mau memberikan turorial kepada kawan kita bahkan kita tidak perlu lagi membuat print screen seperti di windows xp. Step by step tapi kita bisa menggunakan fasilitas PSR dengan cara klik Start trus run ketik PSR dan tekan Enter, kemudian klik Mulai Rekam. Maka Problem Steps Recorder akan merekam setiap klik dan tombol ditekan, mengambil meraih layar, dan segala paket ke dalam sebuah file zip MHTML tunggal ketika mereka selesai, siap untuk mengirim email ke Anda. Ini cepat, mudah dan efektif, dan akan menghemat waktu.
2. Menampilkan Theme win 7 yang tersembunyi
Saat kita menginstall OS windows 7  kita nanti akan diberikan pilihan instalasi menurut  negara atau terserah kita mau pilih negara mana.  Tapi biasanya berhubung kita di Indonesia kemungkinan besar agan agan akan memilih negara Indonesia.  Di saat pemilihan negara itulah windows 7 akan otomatis menginstallkan theme sesuai negara yg kita pilih.  Namun ada trik yang bisa kita gunakan untuk mengeluarkan theme theme tersembunyi dari negara negara Australia,Canada, Inggris dan lainnya.  Pokoknya di jamin puas deh.  Ketik saja di bagian search di windows path berikut :
“C:WindowsGlobalizationMCT” (ketik tanpa tanda petik)
Maka agan agan sekalian akan ditampilkan theme theme yang tersembunyi dan siap di install di win 7 masing-masing.  Kalau tidak salah pada hasil pencarian tersebut ada 5 theme yang kita bisa pilih.  Tapi kalau masih belum puas dengan theme yang ada silahkan agan gogling ajatergantung selera masing-masing.
3. Burning atau Membakar  Image
Di win 7 untuk membakar image seperti  ISO,NRG atau apalah ekstensinya, agan agan tidak perlu lagi menggunakan software seperti nero atau sejenisnya karena win 7 sudah bisa melakukannya. Cukup klik ganda ISO image, pilih drive yang berisikan disk kosong, klik Burn dan boo…ooom image agan langsung ke burning.
Sekian dulu trik dan tips dari saya mudah mudahan bermanfaat dan kalau ada waktu luang akan saya tambah lagi trik trik di win 7. Dan terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk mampir di blog ini.

Baca Selengkapnya...
Browse: Home / / Makna Filosofis AMKT " MANDAU"

Makna Filosofis AMKT " MANDAU"

Oleh : Muhammad Nor Gusti
Mandau adalah sejenis senjata tajam yang dipergunakan suku dayak untuk berburu, berperang, dan sebagainya. Dengan Mandau, tentunya masyarakat pada waktu itu bisa melakukan apa saja. Di malang, AMKT “Mandau” merupakan salah satu asrama provinsi Kalimantan timur yang beralamatkan di Jalan Brigjen Slamet Riyadhi Gang 11 Kelurahan Oro-oro Dowo Malang-Jawa Timur. Asrama “Mandau” berdiri sejak 21 Oktober 1962 yang diperuntukan untuk putra Kalimantan Timur, yang sebelumnya digunakan sebagai mess belajar bagi PNS yang sedang mendapat tugas belajar dari pemerintah provinsi Kalimantan timur. Seiring dengan perkembangan zaman, mess tersebut kemudian dijadikan asrama, dengan tujuan agar mahasiswa Kalimantan timur yang mengalami kesulitan ekonomi dapat tinggal di asrama tersebut, sehingga dapat meringankan beban yang di tanggung selama menempuh study di malang.
Sesuai dengan namanya, “Mandau” memiliki makna filosofis sebagai senjata tajam yang dipergunakan untuk “berburu”, dan “berperang”. “Berburu” berarti haus akan ilmu pengetahuan dan pengalaman, artinya yang tertanam dalam benak mahasiswa “Mandau” ialah akan terus bergemul dalam dunia keilmuan dan pengalaman, dengan tujuan semula datang ke malang sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab. “Berperang” artinya siap berperang dengan apa saja yang menjadi penghalang demi cita-cita luhur yang telah tertanam di dalam benak penghuni AMKT “Mandau”. Sehingga sebagai “senjata tajam”, maka “Mandau” tersebut haruslah di “asah” agar dapat dipergunakan untuk mengupas berbagai bentuk persoalan yang terjadi dilingkungan masyarakat Kalimantan Timur. 
Baca Selengkapnya...

Selasa, 08 November 2011

Browse: Home / / Professionalisme Jurnalis dan Element Jurnalisme

Professionalisme Jurnalis dan Element Jurnalisme


Oleh : Muhammad Nor Gusti 
  1. Latar Belakang
a.      Sejarah Singkat dan Perkembangan Jurnalisme
Jurnalistik berasal dari “Journalitsiek” dalam bahasa belanda, “Journalism” dalam bahasa Inggris, yang berarti laporan dengan mengumpulkan bahan berita yang akan disampaikan ke masyarakat dengan memiliki daya tarik untuk dapat di sebarluaskan ketengah masyarakat. Kegiatan jurnalistik sudah sangat tua, yaitu dimulai dari zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan para Senat setiap hari diumumkan dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut Acta Diurna. Berbeda dengan berita saat ini yang datang ke rumah pembacanya.
Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori Jurnalistik yang mendasari perkembangannya pers, diantaranya ialah munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut Jurnalistik Baru.
Jurnalistik dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976. Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik yang lebih bersifat linier dengan menggunakan satu jenis referensi. Artinya, dalam memberitakan suatu pertistiwa gaya jurnalistik lama hanya sekedar menginformasikan informasi tersebut tanpa ada pembanding peristiwa ditempat yang sama atau di waktu lainnya. Misalnya, kalau terjadi Demo menuntut Turunnya SBY, maka yang berita tersebut hanya berkutat pada Demo tersebut seperti memberitakan tuntutan apa yang akan di sampaikan kepada pemerintah, berapa massa yang turun kejalan ataupun sebagainya.
Sementara, Jurnalistik baru beritanya lebih bersifat Multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, berita yang disampaikan atau juga menggunakan referensi lainnya untuk mendukung berita tersebut agar tidak menjadi “hambar”. Misalnya, dengan melakukan wawancara mendalam kepada narasumber yang mengetahui kejadian tersebut sehingga berita tersebut jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama.
Dengan kata lain, jurnalistik baru menggali fakta-fakta yang tersembunyi tidak sebatas peristiwa yang kelihatan dipermukaan, melainkan fakta-fakta yang tersembunyi juga bisa diketahui dengan menggali berita dari berbagai sumber. Dengan demikian dapat disebut jurnalistik baru lebih menekankan pada kelengkapan dan pengembangan beritanya, karena pada prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep jurnalistik yang sudah ada.
Menurut Assegaf, jurnalistik dijelaskan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah atau berkala lainnya. Pengertian ini sebenarnya berlaku pada masa dimana hanya media dalam bentuk cetakan saja yang beredar di masyarakat. Kemudian seiring dengan perkembagan jaman dan teknologi, yang melahirkan media elektronik, pengertian jurnalistik pun menjadi lebih luas, yaitu kegiatan untuk menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai (massa) melalui saluran media, baik cetak maupun elektronik seperti film, radio ataupun televisi (Assegaf, 1991 : 9-11).
b.      Jenis-Jenis Jurnalisme
Dalam jurnalisme terdapat beberapa jenis dan ragam jurnalime, diantaranya sebagai berikut:
a.       Jurnalisme warga negara (citizen journalism) merupakan sebuah genre baru dalam dunia komunikasi massa yang menggunakan media online. Citizen journalism adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu melalui blog yang dimilikinya di media online. Siapapun dapat melakukan aktivitas jurnalistik tanpa terikat aturan-aturan baku dalam dunia jurnalisme.
b.      Jurnalisme presisi adalah kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya. Biasanya diaplikasikan oleh berbagai media massa dengan menggunakan metode polling.
c.       Jurnalisme kuning adalah jurnalisme pemburukan makna karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada berita-berita sensasional daripada substansi isinya. Ciri khasnya dengan pemberitaan yang bombastis, sensasional, dan judul utama yang menarik perhatian publik.
d.      Jurnalisme “Lher” disebut juga jurnalisme sensasional karena dalam penyajiannya dilandasi dengan atau untuk mencari sensasi saja. Biasanya ditampilkan dengan gambar dan judul-judul asosiatif yang mengarahkan pemikiran pada seks.
e.       Jurnalisme perdamaian dan jurnalisme perang merupakan dua jenis jurnalisme yang selalu bersama, tetapi tidak bisa disatukan. Jika jurnalisme perang berfokus pada konflik dan menang-kalah antara pihak yang bertikai, jurnalisme perdamaian lebih memfokuskan pada pemberitaan yang win-win solution, tidak memihak, dan mengusahakan perdamaian dalam setiap beritanya..
f.       Jurnalisme kepiting merupakan jurnalisme yang selalu berhati-hati dalam setiap pemberitaannya. Jurnalisme jenis ini lebih memilih “jalan selamat daripada jalan beresiko”. Sebelum memberitakan sesuatu, jurnalisme kepiting selalu meraba-raba jalan yang akan ditempuhnya terlebih dahulu.

2.      Pembahasan
Professionalisme Jurnalis dan 9 Element Jurnalisme
Era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan di segala bidang kehidupan, termasuk wartawan. Karena era reformasi saat ini telah member kesempatan pada setiap kelompok masyarakat menampakkan eksistensinya di berbagai bidang kehidupan, seperti agama, politik, dan bisnis.
Pengelompokan masyarakat yang kian heterogen itu menyeret wartawan pada berbagai afiliasi dan kepentingan, seperti afiliasi agama, politik dan bisnis. Hal ini mendorong wartawan untuk berpihak kepada kelompok-kelompok sosial itu sehingga timbul tentang profil wartawan Indonesia yang Ideal. Indicator wartawan ideal adalah bukan wartawan amplop, melainkan wartawan yang murni menerima gaji dari perusahaan media massa tertentu untuk memberikan informasi kepada public. Indicator seperti ini sangat bertentangan dengan wartawan bodrek, yang hanya ingin mendapatkan uang dari narasumber tanpa mementingkan etika-etika yang telah diatur oleh kode etik.
Konsep kebebasan pers muncul sebagai reaksi terhadap pers otoriter yang berkembang sebelumnya, karena pers otoriter dianggap tidak demokratis dan tidak relevan dengan gagasan kebebasan individu yang muncul sebagai konsekuensi dari berkembangnya paham liberalisme dan individualisme dalam masyarakat. Kalau dalam pers otoriter dianggap sebagai pelayan negara, maka pers bebas diperlakukan sebagai mitra dalam mencari kebenaran, sehingga tidak lagi menjadi alat penguasa, tetapi merupakan sarana bagi rakyat untuk mengawasi kekuasaan. Kemudian kalau dalam system pers otoriter itu pers dikendalikan oleh penguasa, maka dalam system pers bebas pers dikuasai oleh pengusaha. Kelompok penguasa ini menentukan fakta dan kebenaran yang disiarkan ke tengah masyarakat.
Tetapi perkembangan pers situ menimbulkan kekhawatiran yang lalu mendorong lahirnya suatu gagasan dan teori pers tanggung jawab sosial. Para pencetus teori pers tanggung jawab sosial berpendapat bahwa orang-orang yang menguasai media massa harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Asumsinya, penguasa media atau pengusaha harus memberikan tanggun jawab kepada masyarakat atas informasi yang mereka berikan kepada masyarakat. Namun, yang terjadi sekarang, para pengusaha justru sibuk dengan dirinya sendiri untuk mencari oplah keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga melupakan atas apa yang telah menjadi tanggung jawab mereka terhadap media massa. Sehingga para pekerja pers pun mengalami fase bimbang dalam melakukan peliputan berita yang benar-benar objektif. Banyak, para jurnalis di negeri ini yang menjadikan proefsi jurnalis hanya sebagai batu loncatan untuk menggapai kepentingan tertentu, artinya mereka berasumsi bahwa jurnalis bukanlah lahan tepat untuk mencari kesejahteraan untuk hidup. Ketika di jurnalis mereka bisa mengkritik habis-habisan segala bentuk kebijakan yang ada. Namun, ketika ditawarkan suatu pekerjaan yang layak dan diberikan kursi yang menggiurkan, tentu ini akan membuat prinsip mereka goyah. Tetapi, ada juga jurnalis yang berpegang teguh pada prinsipnya dan mereka menganggap profesi jurnalis sebagai media dakwah kepada masyarakat.
Sehingga dalam melakukan peliputan berita jurnalis harus berpegang teguh kepada prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang tertuang dalam The Elements of Journalist yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiels.
Pertama kebenaran, yang dimaksud kebenaran disini ialah bukanlah kebenaran dalam tataran ideologis, dan filosofis. Tetapi adalah kebenaran fungsional yang dimiliki setiap lembaga atau instansi. Misalkan, seorang hakim memutuskan vonis penjara kepada seorang terdakwa, keputusan ini diyakini benar karena adanya kebenaran fungsional yang dimiliki seorang hakim merupakan kebenaran yang sudah diatur pada aturan-aturan tertentu. Namun apa yang disebut kebenaran fungsional senantiasa bisa direvisi, seorang hakim bisa saja salah dalam memberikan vonis bebas, ketika bukti-bukti yang menguatkan seorang terdakwa tersebut itu tidak ada. Kedua adalah loyalitas, kepada siapa seorang jurnalis menempatkan loyalitasnya ?, seorang jurnalis setidaknya harus bisa menempatkan dirinya sebagai pekerja sosial yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat bukan kepentingan bisnisnya sehingga dapat memberikan prestise yang tinggi bagi perusahaan media tersebut. Berbeda dengan perusahaan lainnya, media justru harus bisa memberikan berita yang menjual mutu kualitas daripada hanya untuk kepentingan profit belaka. Jadi yang dimaksud loyalitas seorang jurnalis ialah loyalitas kepada warga Negara. Ketiga ialah disiplin verifikasi, intisari jurnalisme ialah melakukan verifikasi setiap berita yang akan dilaporkan atau disiarkan kepada masyarakat, karena disiplin verifikasi ini yang akan membedakan jurnalisme dengan fiksi, seni, hiburan, bahkan propaganda sekalipun. Keempat, ialah independensi seorang wartawan terhadap apa yang mereka liput, artinya seorang jurnalis harus memiliki nilai-nilai independensi yang kukuh terhadap apa yang akan mereka hidangkan ke tengah-tengah masyarakat. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah maraknya budaya “amplop” terhadap seorang wartawan yang belum tentu memiliki nilai berita yang berkualitas. Namun mewujudkan independensi bukanlah hal yang mudah, karena seorang jurnalis akan dipengaruhi oleh banyak hal dan banyak pihak. Kelima adalah sebagai pemantau kekuasaan, artinya peran media sebagai anjing penjaga sangatlah diperlukan dalam mengawasi peran dan kinerja para penguasa yang ada. Bukan kepada penguasa ataupun pemilik modal, melainkan kepada masyarakat. Peran anjing penjaga ini sangat vital, ibarat sebuah rumah yang kemudian di datangi orang tidak dikenal, maka si anjing penjaga ini harus menggonggong agar si tuan rumah bisa mengambil sikap. Sebagai anjing penjaga peran pers sebagai lembaga control pemerintah memang sangat diperlukan, bukan berarti pers bisa seenaknya melakukan pengawasan yang bersifat subjektif melainkan harus objektif.
Keenam adalah jurnalisme harus mengadakan sebuah forum untuk kritik dan komentar public, artinya media baik cetak maupun elektronik harus menyediakan ruang agar para pembaca ataupun pemirsa bisa memberikan pendapat kepada media terkait, baik kritik ataupun saran sehingga dapat menjaga kualitas perusahaan media massa tersebut. Pada harian Kompas misalkan, pada rubrik surat pembaca, ada tajuk rencana yang dijadikan sebagai ruang kepada masyarakat untuk memberikan kritik ataupun saran harian tersebut. Ketujuh adalah wartawan harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan, artinya seorang wartawan harus bisa mengemas beberapa isu penting menjadi hal yang menarik dan relevan sehingga para pembaca menjadi tidak bosan. Hal ini tergantung dari siapa yang dijadikan narasumber agar bobot berita yang di miliki tidak kehilangan kualitasnya.
Kedelapan adalah menjaga berita yang proporsional dan komprehensif, seorang jurnalis harus bisa menjaga beritanya agar tetap proporsional dan komprehensif sehingga perusahaan media tidak akan kehilangan kesetiaan para pembacanya. Banyak jurnalis yang hanya memanfaatkan judul berita sensasional demi menarik perhatian pembacanya, namun  tidak korelasi dengan isi beritanya sama sekali. Sangat ketika banyak jurnalis di Indonesia bersifat seperti itu. Surat kabar yang proporsional ibarat seorang musisi, karena kemahirannya memainkan alat music. Semakin dia mampu menunjukan kualitasnya sebagai seorang musisi maka dia tidak akan kehilangan para pendengarnya, begitu juga dengan surat kabar. Terakhir adalah wartawan harus bisa mendengarkan suara hatinya. Ini merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan, namun ini adalah sebuah prinsip yang memang harus dipegang agar seorang jurnalis tidak mudah di ombang ambingkan oleh atasannya. Namun kebanyakan, para atasan seolah-olah memposisikan dirinya sebagai orang yang sangat penting dalam menentukan kebijakan pada media yang di pimpin sehingga para jurnalis tidak berani menentang.
Pekerjaan jurnalis adalah pekerjaan yang sangat mulia, jangan sampai profesi ini hanya dijadikan alat untuk meraih kepentingan individu. Dengan elemen-elemen tersebut, sekiranya para jurnalis tetap menjaga prinsip dan memegang idealismenya demi kepentingan masyarakat luas. Agar menjadi insan jurnalis yang bertanggung jawab.

Daftar Pustaka
Harsono Andreas, 2010. Agama Saya adalah Jurnalisme, Kanisius, Yogyakarta.
Nurudin, 2009, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, Jakarta.
Shaffat, Idri. 2008. Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Penyimpangan Pers. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sobur, Alex, 2001, Etika Pers : Profesionalisme dengan Nurani, Humaniora Utama Press, Bandung.
Tebba, Sudirman, 2005, Jurnalistik Baru , Kalam Indonesia, Jakarta.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 02 Agustus 2011

Browse: Home / / Makna Demokrasi Lokal

Makna Demokrasi Lokal

Oleh : Muhammad Nor Gusti

Beberapa hari ini sering kita dengar teriakan demokrasi di berbagai media massa. Demokrasi dianggap sebagai solusi yang tepat bagi kemajuan pembangunan bangsa yang tercinta ini. Bahkan, bapak wakil presiden republik yang tercinta ini juga mengemukakan pendapat bahwa demokrasi saat ini merupakan sebuah langkah yang tepat sebagai pilar pembangunan.
Terlepas dari itu semua, konsep demokrasi yang terjadi di Indonesia bisa berjalan karena adanya ciri khas yang menjadi jati diri bangsa selama ini yakni, nilai-nilai budaya yang mampu menggali keanekaragaman berbangsa dan bertanah air. Konsep demokrasi ini biasa disebut dengan Demokrasi Lokal, yang bertujuan untuk memperkenalkan ciri khas masing-masing daerah, yang nantinya akan menjadi sebuah kesatuan yang utuh dengan sebutan kesatuan berbangsa.
Faktor yang perlu di tinjau dalam menginterpretasikan demokrasi lokal.
Pertama, faktor determinan nilai budaya lokal yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang nilai-nilai yang demokratis dan nilai-nilai yang kurang demokratis. Artinya nilai-nilai yang bersesuaia dan kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi universal. Sedangkan nilai-nilai yang tidak demokratis adalah yang bersebrangan dengan dengan nilai-nilai universal sehingga menghambat perkembangan demokrasi.
Kedua, faktor determinan peran aktor. Aktor sebagaimana faktor yang paling dominan dalam membangun demokrasi lokal. Peranan aktor yang sangat konstruktif dalam menggambarkan kondisi aktor yang secara aktif dan positif sebagai agen perubahan bagi pembangunan dan perkembangan masyarakat.
Ketiga, faktor determinan kelembagaan lokal. Artinya eksistensi kelembagaan politik lokal juga sangat penting bagi demokrasi lokal. Dalam hal ini lembaga politik lokal yang bersifat fungsional dan disfungsional. Artinya peran serta partisipasi lembaga-lembaga politik lokal baik secara fungsional maupun disfungsional juga sangat penting untuk perkembangan demokrasi lokal. (Zuhro, 2011).
Demokrasi Lokal di Kalimantan Timur.
Demokrasi lokal saat ini sedang mengalami perkembangan yang cukup signifikan, buktinya beberapa daerah di Indoensia menggunakan produk Demokrasi Lokal sejak di dengungkannya UU No 32 Tahun 2002 tentang Otonomi Daerah. Artinya, kebijakan yang dulunya di ambil alih langsung oleh pemerintah pusat, kini telah diserahkan kembali ke masing-masing daerah. Hal, ini tentunya dapat membuka ruang agar terjadinya pemerataan pembangunan sosial di seluruh daerah yang dianggap tertinggal akibat sentralisasi pada zaman orde baru.
Tidak terlebih Kalimantan Timur, yang merupakan salah satu imbas akibat UU Otoda tersebut. Kaltim yang bisa dibilang provinsi kaya akan SDA ini merupakan salah satu pilar yang berperan aktif dalam pembangunan bangsa ini. Namun disisi lain, SDM yang ada di kalimantan timur juga sangat tertinggal dari provinsi lainnya. Akibat sentraliasi yang menyebabkan daerah-daerah tertinggal selangkah daripada pulau Jawa.
Dalam konsep demokrasi lokal, faktor-faktor determinan mampu memberikan sebuah tawaran yang cukup menggiurkan ketika terjadi pilkada. Dalam hal ini, secara transaksional faktor-faktor tersebut sudah  bisa memberikan kriteria tertentu terhadap siapa dan apa yang akan kita pilih nantinya. Artinya pembangunan yang terjadi di kalimantan timur, ialah sarat akan sebuah nilai-nilai budaya dan peran aktor yang dianggap berperan untuk mensukseskan pilkada. Terdapat sebuah nilai pragmatis dan transaksional antara orang-orang yang berpengaruh tersebut dengan salah satu calon kepala daerah. Contohnya saja peran tokoh-tokoh adat yang sangat bisa mengamankan suara pada saat pemilihan kepala daerah. Belum lagi dengan keberadaan lembaga politik yang disfungsional secara implisit bisa menjadi fungsional, apalagi calon yang di dukung ialah seorang pegawai instansi tertentu dan memiliki pengaruh besar. Tentu keberadaan lembaga politik yang fungsional hanya sebagai pemanis belaka, sehingga lembaga tersebut bisa berfungsi secara fungsional ketika adanya kampanye salah satu calon.

Yang terjadi di kalangan para pemimpin daerah saat ini ialah, sempitnya makna demokrasi sebagai mitra pembangunan kalimantan timur ke depan. Ini adalah sebuah tantangan baru bagi para pemimpin untuk bisa lebih meluaskan pemahaman tentang makna demokrasi sehingga tidak menghambat laju pertumbuhan demokrasi lokal. Tentu dengan keadaan ini, kita seolah-olah dibuat terpaksa untuk mengikuti kancah proses demokrasi lokal yang begitu sarat akan pragmatisme dan transaksional. Politik golongan yang begitu getol menghujam bangsa ini akan selalu menghantui kita sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 29 Juli 2011

Browse: Home / / Media dan Pemerintah Siapa yang Salah ?

Media dan Pemerintah Siapa yang Salah ?


Oleh : Muhammad Nor Gusti.

Media massa merupakan ruang yang selama ini menjadi penghubung dan penyambung lidah antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai alat control pemerintah, media massa juga harus mematuhi rambu-rambu kode etik dan UU yang telah ditetapkan oleh pemerintah. UU No 40 Misalnya, membahas mengenai peran dan fungsi pers, disana dijelaskan bahwa pers yang bebas bukan pers yang seenaknya dalam mendapatkan hak menyebarluaskan informasi, melainkan juga harus menempatkan tanggung jawabnya kepada masyarakat terhadap informasi yang telah disebarkan.
Setelah membaca harian Kompas (12/07/2011), terlihat pemerintah begitu represifnya menyalahkan peran pers dalam memberitakan informasi. Pemerintah seolah-olah menyudutkan pers karena telah membuat berita yang memojokkan instansi Negara.
Perlu dikaji secara mendalam pemerintah harus bisa memahami peranan dan fungsi pers. Karena segala bentuk kegiatan pers dan media itu telah diatur dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Kebebasan pers bukan berarti pers bisa bebas atau sewenang wenang dalam memberikan informasi tapi juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab mereka terhadap public.
Dalam 9 elemen jurnalisme yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rossentiel, bahwa para jurnalis harus menempatkan loyalitas dan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Karena pemberitaan yang disampaikan kepada masyarakat merupakan salah satu tanggung jawab mereka sebagai agent of control. Jurnalis atau wartawan tak ubahnya sebagai penyambung lidah bagi masyarakat dan pemerintah.
Berita yang dimuat pada harian Kompas (12/07/2011) kemarin, sangat terlihat bahwa begitu tidak dewasanya pemerintah dalam menyikapi kasus yang berbenturan langsung dengan instansi Negara tersebut. Sehingga pers yang merupakan lembaga informasi dan komunikasi ikut menjadi “kambing hitam”  karena pemberitaan yang terlalu sensasional. Sebenarnya yang terjadi adalah apakah pemerintah paham mengenai prinsip dasa dalam Jurnalisme.
Agus Sudibyo menambahkan bahwa media mempunyai kewajiban untuk mengecek pernyataan sumber. Artinya, jurnalis tidak akan menyerah apabila belum mendapatkan informasi yang benar-benar valid. Dan itu sudah menjadi tanggung jawab jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalis. Jurnalis bisa melakukan investigasi, untuk menguak apakah BBM atau SMS tersebut berasal dari Nazaruddin atau tidak.
Menurut Alexis S. Tan “media massa mempunyai 4 fungsi utama diantaranya to inform, to educate, to entertain, to persuade”. Hal ini jelas merupakan 4 pilar utama yang harus dilaksanakan oleh seorang yang sedang melaksanakan kegiatan profesi wartawan.
Kalau melihat siapa yang harus disalahkan adalah, pemerintah harus bisa memahami tentang kaidah-kaidah jurnalisme. Jangan sampai hanya karena pemberitaan yang begitu menggelitik, pemerintah memusuhi media. karena media merupakan ruang terbuka antara pemerintah dengan masyarakat. Paling tidak kedua belah pihak ini bisa saling melakukan introspeksi, media juga perlu melakukan penyaringan berita secara selektif agar berita yang ditampilkan tidak menimbulkan kesan “memojokkan” pemerintah secara represif. Namun pemberitaan yang dilakukan setidaknya harus seimbang (cover both side). Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan akibat pemberitaan media massa itu sendiri.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik dan Study Media
Universitas Muhammadiyah Malang


Baca Selengkapnya...
Browse: Home / / Jangan Kuliah Kalau Gak Sukses[i]

Jangan Kuliah Kalau Gak Sukses[i]


Oleh : Muhammad Nor Gusti[ii]
Buku merupakan gudang dari berbagai macam ilmu. Dengan buku kita dapat melihat dunia, apalagi dengan buku kita bisa membuka wawasan untuk mencapai cita-cita dan tujuan kita. Dalam resensi kali ini, saya mencoba memaparkan sebuah buku yang berjudul “Jangan Kuliah Kalau Gak Sukses”.
Terdapat 3 bagian penting dalam buku ini yang dikupas secara tuntas dan lugas oleh penulisnya. Diantaranya Hukum-hukum kehidupan, 5 Kekuatan Dahsyat, dan Sukses di berbagai bidang.
Bagian pertama buku ini membahas tentang hukum-hukum kehidupan, ada 3 sub-bahasan dalam hukum-hukum kehidupan. Yang pertama, hukum kelembaman yang membahas bagaimana mengcounter gejala-gejala menurunnya motivasi seseorang untuk terus produktif. Dalam sub-bahasan ini, penulis memberikan berbagai macam tips agar para pembaca dapat melakukan hal-hal yang bersifat produktif. Sub-bahasan yang kedua membahas hukum sebab akibat, artinya segala sesuatu itu bermula dari apa yang kita lakukan dan berdampak sendiri kepada diri kita. Tentu ini merupakan sebuah kausalitas fenomena dalam kehidupan. Ketika kita memilih sesuatu yang baik, ini akan berakibat baik kepada diri kita, begitupun sebaliknya. Sub-bahasan yang ketiga adalah hukum peluang, dimana peluang tidak pernah berkompromi dengan kita sehingga dalam buku ini, diberikan tips untuk terus mencari peluang agar sesuatu dan tujuan yang kita inginkan bisa tercapai dengan hasil yang maksimal. Ingat kesempatan itu bukan persoalan menunggu, melainkan persoalan kecepatan dan ketepatan dalam menjemput bola.
Bagian kedua buku ini membahas 5 kekuatan dahsyat dalam mengarungi roda kehidupan. Sub-bahasan yang di miliki oleh buku ini diantaranya spiritual power, emotional power, true financial power, intellectual power, dan action power.
Pada sub-bahasan yang pertama mengenai spiritual power, yakni bagaimana agar kita tetap tawwadu ketika kesuksesan menghampiri. Banyak orang yang sukses secara financial tetapi tidak mendapatkan kenyamanan pada hati. Banyak pengusaha sukses yang bunuh diri ketika mereka sudah berada di puncak kesuksesan, tetapi mendapatkan hidup ini lebih dari sebuah derita. Pada buku ini, dibahas berbagai kiat-kiat agar kita mendapatkan makna hidup yang berharga ini, dengan mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa. Pada sub-bahasan yang kedua mengenai Emotional Power (kekuatan emosional), kita mungkin pernah mendengar orang jenius dengan IQ diatas rata-rata hanya mendapatkan tempat terbawah di dunia kerja hanya karena sulit berkomunikasi.
Hal ini disebabkan, kekuatan emosional yang dimilikinya begitu rendah bahkan tidak ada sama sekali. Tentu ini akan membuat si jenius tadi ingin melakukan sesuatu dengan sendirinya tanpa melibatkan orang lain. Emotinal Power merupakan salah satu penentu kesuksesan orang lain. Orang lain dianggap sukses, ketika ia mampu bersosialiasi dan berkomunikasi kepada orang disekitarnya, bukan hanya dengan tingkat kecerdasan intelektualnya (IQ) saja.  Pada buku ini diceritakan dengan lugas bahwa kecerdasan emosional seseorang akan menjadi penentu untuk kesuksesan seseorang. Pada sub-bahasan yang ketiga mengenai true financial power, bukan berarti true financial power ini berbicara tentang modal yang kita punya untuk membuat sebuah usaha.
Tetapi bagaimana cara mendapatkan modal dan mengelolanya agar tidak terjadi kesalahan menggunakan modal yang kita dapatkan. Berbagai macam tips dijelaskan dalam buku ini agar kita bisa menjadi seorang mahasiswa yang mempunyai jiwa entrepreneur handal dan tidak mengharapkan banyak pengeluaran dana dari orang tua. Sub-bahasan yang keempat ialah tentang intellectual power, pada bagian ini dijelaskan secara komprehensif mengenai kinerja otak serta pemetaan otak melalui bagian-bagian tersendiri. Artinya kita dapat mengukur kinerja seseorang melalui otak bagian mana yang difungsikan seseorang untuk mencapai kesuksesan. Pada sub-bahasan yang kelima dijelaskan mengenai action power. Pada bagian ini, penulis menjelaskan bagaimana beraksi dengan ilmu yang telah kita dapat dibangku kuliah, dengan menuliskan beberapa rancangan kegiatan yang akan kita lakukan pada hari ini dan hari-hari berikutnya.


Kita memasuki pada bagian yang ketiga, mengenai kesuksesan diberbagai bidang. Dalam buku ini kesuksesan dalam kuliah dibagi menjadi 3 bagian diantaranya sukses dalam dunia akademis, sukses dalam dunia organisasi, dan sukses mendapatkan beasiswa. Pada sub-bahasan yang pertama, buku ini membahas mengenai langkah-langkah taktis dalam mengatur pola dan ritme yang ada pada dunia perkuliahan. Agar mendapatkan hasil yang maksimal, penulis membahas secara tuntas segala bentuk target yang akan dilakukan ketika menghadapi problem dalam perkuliahan. Pada sub-bahasan yang kedua kita memasuki kesuksesan dalam berorganisasi, pada pembahasan ini penulis menjelaskan betapa pentingnya fungsi sebuah organisasi.
Selain untuk menambah wawasan dan silaturahmi, akan ada hal-hal baru yang pasti kita dapatkan dalam organisasi yang kita ikuti. Pada sub-bahasan yang ketiga, penulis memasukan dalam kategori sukses mendapatkan beasiswa. Pada intinya beasiswa merupakan salah satu langkah yang tepat ketika kita ingin mengejar cita-cita dan impian yang kita inginkan pada waktu menempuh study S1. Pada pembahasan ini, penulis menjelaskan tips-tips yang digunakan ketika ingin mendapatkan beasiswa baik di dalam negeri ataupun diluar negeri.
Pada bagian keempat buku ini membahas berbagai macam lampiran-lampiran kantor kedutaan yang ada di Indonesia dan lembaga-lembaga yang sering memberikan beasiswa kepada mahasiswa prestasi baik di dalam negeri ataupun yang ingin keluar negeri. Semoga resensi ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Agar yang kita lakukan hari ini benar-benar bisa memberikan manfaat bagi diri kita dan orang sekitar kita.
YAKINKAN DENGAN IMAN, USAHAKAN DENGAN ILMU, SAMPAIKAN DENGAN AMAL.



[i] Merupakan resensi dari sebuah buku yang ditulis oleh Setia Furqon Kholid, yang kemudian di diskusikan pada  agenda rutin KPMKT Malang Raya pada tanggal 20 Juni 2011 di Sekretariat Himpunan Mahasiswa Bontang (HMB) Cabang Malang
[ii]Pembedah adalah Mahasiswa Kal-Tim asal Tarakan dan sekarang sedang menempuh study di Univ. Muhammadiyah Malang Jurusan Ilmu Komunikasi, dan sekarang menjadi Ketua KPMKT Malang Raya periode 2011-2012


Baca Selengkapnya...

Selamat Datang

Free Your Mind

Friends