Sabtu, 17 Desember 2011

Browse: Home / / Retorika dalam Kepemimpinan

Retorika dalam Kepemimpinan

Oleh : Muhammad Nor Gusti
Dalam Dunia Komunikasi, Retorika adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi para Komunikator khususnya komunikator Politik dan Orator. Retorika merupakan seni berbicara dengan tujuan untuk mempersuasi audiens melalui alam bawah sadar. Dalam teori komunikasi retorika bertumpu pada komunikator (sebagai penyampai pesan), kemudian bagaimana komunikator mengemas sebuah pesan yang kemudian memberikan pengaruh dan kepada komunikan (penerima pesan) agar mau mengikuti apa yang telah disampaikan.
Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan etika/kredibilitas (ethos) (Richard West, 2008). Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang memandang khalayak untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa teori retorika adalah teori yang yang memberikan petunjuk untuk menyusun sebuah presentasi atau pidato persuasive yang efektif dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia.
Asumsi-asumsi Retorika menurut West Richard.
1.      Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khlayak mereka. Asumsi ini menekankan bahwa hubungan antara pembicara – khlayak harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayaknya, tetapi mereka harus berpusat pada khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap sebagai sekelompok besar orang yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok besar orang yang homogeny dan serupa. Asumsi ini menggarisbawahi definisi komunikasi sebagai sebuah proses transaksional. Agar suatu pidato efektif harus dilakukan analisis khalayak (audience analysis), yang merupakan proses mengevaluasi suatu khalayak dan latar belakangnya dan menyusun pidatonya sedemikian rupa sehingga para pendengar memberikan respon sebagaimana yang diharapkan pembicara.
2.      Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka. Asumsi ini berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara dalam persiapan pidato mereka dan dalam pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti yang dimaksudkan ini merujuk pada cara-cara persuasi yaitu: ethos, pathos dan logos. Ethos adalah karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara. Logos adalah bukti logis atau penggunaan argument dan bukti dalam sebuah pidato. Pathos adalah bukti emosional atau emosi yang dimunculkan dari para anggota khalayak.

Argument Tiga Tingkat (Silogisme dan Entimem)
Logos adalah salah satu dari tiga bukti yang menurut Aristoteles menciptakan pesan yang lebih efektif. Berpegang pada bukti-bukti logis ini merupakan sesuatu yang disebut silogisme (syllogism). Namun, kemudian muncul istilah yang juga popular yaitu entimem (entymeme).
Silogisme (Bitzer,1995; Kim dan Kunningham, 2003) adalah sekelompok proporsi yang berhubungan satu sama lain dan menarik sebuah kesimpulan dari premis-premis mayor dan minor. Silogisme sebenarnya merupakan sebuah argument deduktif yang merupakan sekelompok pernyataan (premis) yang menuntun pada sekelompok pernyataan lainnya (kesimpulan).
Entimem (Lloyd Bitzer, 1959) adalah silogisme yang didasarkan pada kemungkinan (probability), tanda (sign) dan contoh (example), dan berfungsi sebagai persuasi retoris. Kemungkinan adalah pernyataan-pernyataan yang secara umum benar tetapi masih membutuhkan pembuktian tambahan. Tanda adalah pernyataan yang menjelaskan alas an bagi sebuah fakta. Contoh adalah pernyataan-pernyataan baik yang faktual maupun yang diciptakan oleh pembicara. Entimem dalam hal ini memungkinkan khalayak untuk mendeduksi kesimpulan dari premis-premis yang atau dari pengalaman mereka sendiri. James McBurney (1994) mengingatkan bahwa entimem merupakan dasar dari semua wacana persuasive. Karenanya entimem juga berhubungan dengan ethos dan pathos. Larry Anhart (1981), percaya akan adanya kesalingterhubungan antara entimem dan bentuk-bentuk bukti ketika ia menyimpulkan bahwa kekuatan persuasive entimem terletak didalam kemampuannya untuk menjadi logis, etis dan patheis: “entimem dapat digunakan tidak hanya untuk membangun sebuah kesimpulan sebagai kebenaran yang mungkin tetapi juga untuk mengubah emosi para pendengar atau untuk membangun rasa percaya mereka akan karaketer dari pembicara”.
Silogisme dan entimem secara struktur sama. Akan tetapi, silogisme berhubungan dengan kepastian sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan.
Kanon Retorika
Kanon merupakan tuntunan atau prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh pembicara agar pidato persuasive dapat menjadi efektif, yaitu:
Penemuan (invention), didefinisikan sebagai konstruksi atau penyusunan dari suatu argument yang relevan dengan tujuan dari suatu pidato. Dalam hal ini perlu adanya integrasi cara berfikir dengan argumen dalam pidato. Oleh karena itu, dengan menggunakan logika dan bukti dalam pidato dapat membuat sebuah pidato menjadi lebih kuat dan persuasive. Hal yan membantu penemuan adalah topic. Topik (topic) adalah bantuan terhadap yang merujuk pada argument yang digunakan oleh pembicara. Para pembicara juga bergantung pada civic space atau metafora yang menyatakan bahwa pembicara memiliki “lokasi-lokasi” dimana terdapat kesempatan untuk membujuk orang lain.
Pengaturan (arrangement), berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk mengorganisasikan pidatonya. Pidato secara umum harus mengikuti pendekatan yang terdiri atas tiga hal: pengantar (introduction), batang tubuh (body), dan kesimpulan (conclusion). Pengantar merupakan bagian dari strategi organisasi dalam suatu pidato yang cukup menarik perhatian khalayak, menunjukkan hubungan topic dengan khalayak, dan memberikan bahasan singkat mengenai tujuan pembicara. Batang tubuh merupakan bagian dari strategi organisasi dari pidato yang mencakup argument, contoh dan detail penting untuk menyampaikan suatu pemikiran. Kesimpulan atau epilog merupakan bagian dari strategi organisasi dalam pidato yang ditujukan untuk merangkum poin-poin penting yang telah disampaikan pembicara dan untuk menggugah emosi di dalam khalayak.
Gaya (style), merupakan kanon retorika yang mencakup penggunaan bahasa untuk menyampaikan ide-ide didalam sebuah pidato. Dalam penggunaan bahasa harus menghindari glos (kata-kata yang sudah kuno dalam pidato), akan tetapi lebih dianjurkan menggunakan metafora (majas yang membantu untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi lebih mudah dipahami). Penggunaan gaya memastikan bahwa suatu pidato dapat diingat dan bahwa ide-ide dari pembicara diperjelas.
Penyampaian (delivery), adalah kanon retorika yang merujuk pada presentasi nonverbal dari ide-ide pembicara. Penyampaian biasanya mencakup beberapa perilaku seperti kontak mata, tanda vocal, ejaan, kejelasan pengucapan, dialek, gerak tubuh, dan penampilan fisik. Penyampaian yang efektif mendukung kata-kata pembicara dan membantu mengurangi ketegangan pembicara.
Ingatan (memory) adalah kanon retorika yang merujuk pada usaha-usaha pembicara untuk menyimpan informasi untuk sebuah pidato. Dengan ingatan, seseorang pembicara dapat mengetahui apa saja yang akan dikatakan dan kapan mengatakannya, meredakan ketegangan pembicara dan memungkinkan pembicara untuk merespons hal-hal yang tidak terduga.
Jenis-jenis Retorika
Retorika forensic (forensic rhetoric), berkaitan dengan keadaan dimana pembicara mendorong timbulnya rasa bersalah atau tidak bersalah dari khalayak. Pidato forensic atau juga disebut pidato yudisial biasanya ditemui dalam kerangka hukum. Retorika forensic berorientasi pada masa waktu lampau.
Retorika epideiktik (epideictic rhetoric), adalah jenis retorika yang berkaitan dengan wacana yang berhubungan dengan pujian atau tuduhan. Pidato epideiktik sering disebut juga pidato seremonial. Pidato jenis ini disampaikan kepada publik dengan tujuan untuk memuji, menghormati, menyalahkan dan mempermalukan. Pidato jenis ini berfokus pada isu-isu sosial yang ada pada masa waktu sekarang.
Retorika deliberative (deliberative rhetoric), adalah jenis retorika yang menentukan tindakan yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan oleh khalayak. Pidato ini sering disebut juga dengan pidato politis. Pidato deliberative berorientasi pada masa waktu yang akan datang.
Di Indonesia, retorika merupakan bukan hal baru dalam proses sosial, politik, dan budaya. Karena seperti yang telah dipaparkan oleh Aristoteles, retorika adalah seni mempengaruhi orang-orang untuk melakukan sesuatu dibawah kendali sang orator. Banyak contoh, para orator yang semasa hidupnya berhasil membius banyak masyarakat secara universal. Contoh; Soekarno, pada zamannya, dia telah memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap negeri ini.
Soekarno yang pada masanya dijuluki sebagai “singa podium”, telah berhasil membawa pengaruh kuat dalam proses kemerdekaan NKRI. bukan hanya soekarno, masih banyak tokoh-tokoh yang kiranya sangat berpengaruh dengan gaya retorika masing-masing.
Bila merujuk pada fenomena komunikasi, retorika merupakan cara untuk mempersuasi audiens agar melakukan apa yang telah di arahkan orator dibawah alam sadar. Ini merupakan efek komunikasi yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat (2009:231), bahwa efek komunikasi meliputi ; kognisi, afeksi, dan behavioral. Berbeda dengan retorika yang digunakan SBY, retorika yang digunakan SBY lebih cenderung menggunakan “apologie” atas apa yang terjadi di negeri ini. Ini kemudian secara serentak membuat rakyat Indonesia jenuh atas apa yang telah disampaikan oleh SBY pada saat pidato politik. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang presiden hanya mampu ber-apologi dalam menangani kasus-kasus yang terjadi pada negeri ini ?.
Padahal dalam teori kepemimpinan misalnya, karakteristik seorang pemimpin adalah ;
         Cerdas
         Terampil secara konseptual
         Kreatif
         Diplomatis dan taktis
         Lancar berbicara
         Memiliki pengetahuan ttg tugas kelompok
         Persuasive
         Memiliki keterampilan sosial (Yulk dalam Hersey dan Blanchard (1998))
Sedangkan Robins (1996) mengatakan bahwa teori ini adalah teori yang mencari ciri-ciri kepribadian sosial, fisik atau intelektual yang membedakan pemimpin dan yang bukan pemimpin. Setidaknya SBY mampu membius dengan pola-pola retorika yang membakar  semangat rakyat Indonesia agar tidak pernah patah semangat atas persoalan bangsa ini.

1 komentar:

dewi mu'thi mengatakan...

mendingan kamu nulis buku aja dah ommm...
haha

Posting Komentar

Selamat Datang

Free Your Mind

Friends